Karya : Ridho Rinumpoko
Tet.. Tet.. Tet..
Bel nyaring berbunyi
yang tersaut oleh sorak murid dari SMA yang terkenal dengan kecerdasaan
siswanya di segala bidang, SMA Grogol. Ya.. Sekolah yang menjadi harapan dan cita-cita
seluruh anak-anak di kota ini. Bahkan, memakai almamaternyapun sudah menjadi
sebuah alat yang dapat membuat dada ini sedikit membusung ke atas. Benar-benar istimewa.
Seistimewa ketika mendapat sebuah baju baru di hari ulang tahun.
Mungkin, alasan nama besar adalah salah satu senjata
ampuh untuk menghancurkan sebuah dinding yang disebut cita-cita. Tapi, dinding
itu tak akan pernah hancur jika tidak menggunakan senjata ampuh tersebut dengan sungguh-sungguh dan tepat. Hanya
membuang-buang waktu untuk mendapatkan senjata ampuh itu yang pada akhirnya
tidak pernah dimanfaatkan dengan benar. Ya.. Alasan logis. Selogis seorang
laki-laki yang berjuang untuk wanita idamannya.
“Habis ini mau kemana
de?” Tanya seorang laki-laki memakai seragam SMA Grogol kepada teman gadisnya
sekelas.
“Ada apa ko?” Tanya
balik gadis itu pada laki-laki bernama Tiko.
“Mm.. mau jalan?” Ucap
Tiko senyum-senyum.
“Kemana?”
“Kemana aja”
“Tidak. Terimakasih”
Balas Dea singkat dan segera menjauhi Tiko.
Dan kini Dea semakin
berlalu. Menjauh dan semakin menghilang dari pandangannya. Entah apa yang
dipikirkan, tapi Tiko terus menatapnya. Tatapan yang penuh harap.
“Kau suka padanya?”Aih!
suara lirih yang mengagetkan Tiko. Sesekali Tiko salah tingkah dan segera
menanggapi argument laki-laki yang bertanya padanya.
“Ma.. Mana bisa begitu
Rul?” sedikit gelagapan Tiko menjawab pertanyaan singkat itu.
“Tak perlu bohong, kan?”
Irul tetap mencoba membuat Tiko mengakuinya.
Dia tersenyum lembut. Senyum yang mengisyaratkan jika apa yang
dikatakannya adalah benar.
Kali ini Tiko terdiam,
menatap Dea yang telah hilang dari kejauhan. Menatapnya dengan mata berbinar.
“Jika menyukai
seseorang, manusia tidak akan bosan memandang dan terus memandang seseorang
yang disukainya.” Ucapan Irul tepat mengenai hatinya. Memang selalu tepat. Tapi
Tiko tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin lebih tepatnya, dia tidak ingin
melakukan apa-apa selain memandangi Dea.
“Walaupun seseorang
yang disukai itu tidak memandangnya, dia akan selalu mencoba untuk
memandangnya” Ucap Irul melanjutkan argumennya. Sebuah Argumen yang tak hanya
membuat Tiko terdiam, tapi tertunduk. Menunduk karena malu atau takut?.
Entahlah. Tapi itu membuat Irul mencoba
menghiburnya. Dia memegang pundak Tiko.
Tiko mengadah. Memandang Irul, dan kembali tersenyum menatap Dea yang sudah tak
Nampak.
“Seseorang akan terus
tersenyum di depan orang yang disukainya dan mencoba “Sok kuat” di depannya,
meski hatinya rapuh. Seperti yang kau lakukan ini” Irul tersenyum. Tiko
tersenyum juga. Namun senyum mereka berbeda. Senyum Tiko bukan suatu alasan
yang membuatnya senang. Tapi alasan lain yang membuatnya terdiam adalah karena
kata-kata Irul tepat mengenai apa yang dia pikirkan.
“Mengapa tidak
menyatakan “Cinta” padanya? Bukannya dia juga menyukaimu?” Tiko kembali tertunduk.
Serta kembali memandang memandang tempat Dea berjalan.
“Tidak. Dia tidak
menyukaiku” Tiko menjawab dengan senyum kecut. Nampak menyimpan kekecewaan dari
apa yang dia katakan.
“Apa kau sadar akan
beberapa hal?” Tanya Irul.
“Entahlah” Jawa Tiko
singkat. Irul terdiam. Menghela napas dan berharap apa yang dia akan katakan
nanti membuat kawannya tenang.
“Kau itu anak yang
cerdas, juara kelas, olimpiadepun dapat medali emas” Nada irul kian
meninggi. Bukan karena marah, tapi
karena dia peduli.
Tiko terdiam. Irul
terdiam. Irul mencoba mengajaknya bicara sekali lagi. Dia pegang pundak Tiko.
Tiko terseyum sekilas, dan akhirnya dia memilih melangkah meninggalkan Irul.
( 2 Minggu kemudian )
Suasana kini sangat
berubah. Mereka berdua tak lagi berbicara, bahkan hanya sekedar menyapa. Entah
apa yang terjadi. Tapi kenyataannya mereka telah berubah. Suatu kenyataan yang
dianggapnya dulu adalah kemustahilan. Mustahil jika mereka akan berjauhan dan
saling membenci. Namun waktu bahkan dapat merubah rasa manis menjadi pahit.
Bukan suatu hal yang mustahil. Meski mereka berdua satu sekolahan. Berjalan
bersama tapi tidak ada tegur sapa atau canda tawa. Semua berubah menjadi sunyi.
Sepi.
Berbeda dengan Tiko,
Irul tetap ingin membuat kawannya kembali semangat. Irul kangen dengan Tiko yang jenius. Orang
yang dapat berargumen tentang soal PKn. Berdebat tentang permasalahan pemecahan
soal Fluida atau kesetimbangan benda tegar. Meski Tiko bukan tandingan Irul,
hanya saja kecerdasan Tiko dapat menular ke otaknya.
“Mau kemana kau?” Tanya
irul cuek. Meski dalam hati dia ingin bertanya lebih pada Tiko. Dan Tiko tak
bergeming sedikitpun. Ingin rasanya Irul
memukul kawannya ini agar otaknya kembali encer. Dan ingin sekali Irul
tau apa yang sebenarnya dia fikirkan. Sungguh, Irul tidak akan keberatan. Namun
kenyataan tak selalu berpihak. Selangkah demi selangkah, Tiko kembali
membiarkan kakinya melangkah menjauh dari Irul. Dia selalu ingin sendiri.
Menanggung masalah sendirian. Bahkan, hatinyapun tak boleh tau.
Tet.. Tet..
Jam istirahat berbunyi.
Itu artinya waktu untuk makan. Mungkin lebih tepatnya merefres otak. Sekilas Irul melihat wajah Dea yang tertawa.
Namun entah kenapa hal itu membuatnya kesal. Dan satu-satunya tempat untuk menaruh
rasa kesalnya adalah di masjid.
Berlahan dia menaiki
tangga. Suasana yang sepi. Dan tak ada seorangpun di sana. Irul merenung
sejenak, mungkin suatu mustahil jika bisa membuat masjid ini lebih ramai dari
kantin. Tetapi, Irul percaya jika tidak ada yang mustahil. Dia percepat
langkahnya menuju dalam masjid.
Betapa terkejutnya, dia
melihat seseorang yang bersujud di dalam masjid. Irul mencoba mendekati.
Semakin dekat. Dan…
“Tiko..”
“Tiko..”
Ucapnya pelan. Irul
terus memandangi Tiko yang bersujud dan meneteskan air mata. Entah sejak kapan
Tiko melakukan ini. Dan entah kenapa hal ini membuat dasar perut Irul menjadi
panas. Irul semakin tak kuasa. Untuk pertama kalinya. Irul melangkah menjauh
dari Tiko.
Tiko telah selesai
bersujud dan sholat. Mungkin sajadahnya menjadi amat basah karena air
matanya. Dia ambil air wudhu agar tidak
ada orang yang tau jika dia menangis. Dengan banyak hal yang dia fikirkan, Tiko
mulai keluar dan menurunu tangga masjid.
“Mau Kabur lagi?” Suara
yang mengagetkan Tiko. Suara yang sangat dia kenal. Dan suara yang hampir dia
lupakan.
“Irul.. Se.. Sejak
kapan?” Tanya Tiko mencoba mengatur
kegelagapannya.
“Sejak kau bersujud dan
menangis di masjid” Jawab irul singkat.
“Oke.. Kau menang” Tiko
bernada lirih. Seolah dia dikalahkan oleh Irul. Sangat telak.
“Ini bukan soal
pertandingan, ko”
“Ini soal pertandingan
hati, rul”
“Apa
maksutmu?”
“Kau tak tau apa-apa!”
“Kau tak pernah cerita!? Mana aku bisa tau?”
“Tidak akan ada yang berubah meski aku bercerita”
“Segalanya tidak akan tau jika tidak dicoba. Dan segalanya tidak akan berubah jika kau hanya diam!”
“Kau tak tau apa-apa!”
“Kau tak pernah cerita!? Mana aku bisa tau?”
“Tidak akan ada yang berubah meski aku bercerita”
“Segalanya tidak akan tau jika tidak dicoba. Dan segalanya tidak akan berubah jika kau hanya diam!”
Irul bersikeras agar
Tiko mau bercerita tentang keadaannya, meski Tiko terus menolak. Namun,
berlahan hati Tiko mulai cair.
“Manusia hidup bukan
untuk berjalan sendirian. Mereka butuh partner agar dapat maju. Sampai
kapanpun, manusia tidak akan menang melawan kesepian” dan kini, kata-kata Irul
benar-benar meluluhkan hati Tiko.
Suasana kembali sunyi.
Mungkin mereka kelelahan beradu emosi hati. mereka memandangi langit. Berharap,
beban hidup dapat teralir oleh awan yang berarak.
“Aku menyatakan
perasaanku pada Dea” tiba-tiba Tiko berbicara. Irul tercengang dengan ucapan
kawannya.
“Serius?” Irul agak
keheranan dengan pernyataan Tiko.
“Ya” Jawab Tiko
singkat. Dan suasana kembali sunyi.
“Kenapa kau tak Tanya
hasilnya?” Tanya Tiko yang sejak tadi memandangi Irul yang berwajah datar.
“Aku sudah tau kok”
“Apa?”
“Dia menolakmu”
“Dia menolakmu”
“Kenapa kau bisa tau?”
Kini Tiko yang keheranan dengan jawaban Irul.
“Karena aku lebih dulu
menyukai Dea daripada kau” Irul tesenyum. Tiko tak percaya.
“Sampai sekarang?”
Tanya Tiko lagi.
“Iya. Hanya saja semua
agak berbeda. Dia tak menyukaiku sama sekali.”
Irul berhenti bercerita. Mungkin karena emosi masa lalu kembali
menyerangnya.
“Lalu?”
“Aku melupakan
harapanku untuk bersama Dea. Bukan karena menyerah, tapi mungkin karena bukan
jalanku untuk kesana. Ada banyak hal lain yang harus kucapai.” Irul tersenyum
kecil. Namun, Tiko bisa merasakan perasaan Irul yang lebih menyakitkan.
“Aku hanya bisa
merindukannya dalam diam dan mencintainya dalam bisu. Itulah kenapa aku mempercayakannya
padamu. Karena Dea adalah orang yang berharga untukku” Irul tersenyum.
Senyumannya lebih terang dari yang tadi.
“Berharga ya? Ini menyakitkan”
Tiko memegang dadanya. Menunjukkan sesuatu kepada Irul. Jika apa yang Irul
lakukan adalah kesalahan. Mestinya Irul tidak membiarkan Tiko menyukai Dea.
“Kau benar, ko.
Menyakitkan adalah ketika akhirnya kita menemukan seseorang yang begitu
berharga dalam hidup kita. Hanya untuk belajar bagaimana cara melepaskannya”
“Tetapi aku punya kau, ko”
Irul memegang pundak Tiko. Dan tersenyum puas dengan apa yang dia miliki.
Seorang yang bernama Tiko.
Mereka saling
memandang. Tersenyum dan tertawa. Mungkin Irul baru merasakan kebersamaan ini.
Rasa ceria yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
“Terima kasih. Dan sekarang
aku tak tau harus bagaimana rul” Tiko kembali menundukkan kepala. Sebuah
pernyataan yang menjadi bebannya.
“Sini kuberi tau” Irul
mengajak Tiko berdiri. Mereka memandang langit.
“JANGAN DIAM!” Suara
tegas irul membuat Tiko tersentak.
“Kau Tau? Kenapa Orang
nelayan jepang memasukkan hiu kecil di
wadah ikan Salmon?” Tanya Irul. Tiko hanya diam.
“Karena Ikan Salmon
akan banyak yang mati jika tidak ada hiu kecil. Ikan Salmon hanya diam dan
menunggu mati. Tapi, Ikan Hiu kecil
memaksa ikan salmon untuk terus bergerak. Dan selalu bergerak, agar tidak
termangsa. Hingga akhirnya ikan salmon dapat hidup tanpa terduga.” Irul kembali
tersenyum.
“Apa yang membuat kita “hidup dan terus bergerak”
seperti ikan salmon dalam kisah tadi? Ikan hiu kecil adalah Masalah hidup
kita. Seperti yang kau alami”
Pernyataan Irul membuat Tiko tersenyum puas.
“Kau benar, Rul. “hiu kecil” itu secara perlahan tapi pasti akan
membawa kebahagiaan dan kebaikan di masa mendatang. Karena “hiu kecil” ini akan
“memaksa” kita untuk terus bergerak dan tetap berjuang di dalam kehidupan untuk
memberikan potensi kita yang terbaik.
Semua masalah yang kita alami itu pada dasarnya merupakan sesuatu
yang baik karena itulah yang menggerakkan kita terus-menerus. Hingga dapat
membuat kita kuat ” Tiko menjelaskan dengan tersenyum lebar.
“Akhirnya kau mengerti juga. Mari sama-sam berjuang kawan.
Berkreasi! Dan hadapi semua masalah” Irul pun membuat janji dengan Tiko. Jika
mereka tidak akan menyerah sampai akhir. Meski terkadang masalah akan hampir
menghentikkan mereka.
(Selesai)
0 comments:
Post a Comment