Karya : Ridho Rinumpoko
Di dalam rumah yang sederhana nan bersih itu nampak
Seorang nenek yang sedang menjahit sebuah baju dengan menggunakan sebuah benang dan jarum sederhana. Tampak keringat yang mengguyur namun wajah berseri-seri selalu tampak di raut dari sang nenek itu. Meski rumahnya jelas lebih serderhana dari rumah-rumah tetangganya
yang minimal punya motor. Sedang apa yang dipunyai sang nenek dan tak dipunyai semua orang di sana adalah keyakinan hati dan keikhlasan tulus.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki kecil memakai sebuah seragam
merah putih mendobrak hingga mengagetkan sang nenek.
“Braak!” Suara pintu yang hampir rapuh
berbenturan dengan tangan mungil anak itu.
“Masya Alloh, le! ada apa to?” tanya sang nenek yang tetap dengan wajah tersenyum.
“Rahil capek nek” Jawab Singkat anak bernama Rahil itu yang
menunjukkan Raut sedih dan berat. Tapi sang nenek hanya diam dan tak mengerti
apa yang dimaksutkan oleh sang cucu yang masih berdiri didepan pintu itu.
“Aku capek, sangat capek, aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan
menyontek. Aku mau
menyontek saja!”
“Aku capek.
sangat capek, aku capek
karena aku harus terus membantu nenek membersihkan rumah, sedang temanku punya
pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja!”
“Aku cape
karena aku harus menabung, sedang temanku
bisa terus jajan tanpa harus
menabung. aku ingin jajan terus!”
menabung. aku ingin jajan terus!”
“Aku capek,
sangat capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku
enak saja berbicara sampai aku sakit hati”
“Aku
capek, sangat capek karena aku harus menahan diri untuk pacaran, sedang
teman-temanku bisa seenaknya pacaran dan perpegang tangan seseorang yang
disukainya. Aku capek
nek, sangat capek. Aku ingin pacaran”
“Aku capek,
sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-teman ku,
sedang teman temanku seenaknya saja bersikap kepada ku”
“Aku capek
nenek, aku capek menahan diri. Aku ingin
seperti mereka, mereka
terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka nenek ! bisa
bebas melakukan apapun hal yang
disukainya”
Perkataan yang tulus dari sang anak hingga tak terasa
segelintir air dari
kelopak mata membahasi pipinya. Kemudian
sang nenek mulai berdiri dan tertatih-tatih untuk mendekati serta mengusap air
matanya. Pelukan sang nenek menjadi sebuah aroma pengharum bagi tubuh mungil Rahil. Kemudian sang nenek tersenyum dan mengelus
kepala Rahil.
“Ayo le, kutunjukkan sesuatu padamu” ucapnya
pelan, supaya tak mengganggu kenyamanan sang cucu. Nenekpun segera meraih tangan Rahil
dan digenggamnya kuat-kuat agar tak lepas. Rahil kaget dan bingung, kenapa sang nenek
mengajaknyanya?. Pertanyaannya dia simpan dalam hati.
Kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek,
kumuh, berduri, serangga, lumpur, ilalang, serta batu-batu besar yang mungkin
bisa membuatnya terluka.
“Nek, aku tak suka jalan ini” nenek hanya diam
mendengar keluhan Sang cucu.
“Aduh, ada
laba-laba dikepalaku yang menggangguku nek” dan sang nenek tetap diam, seraya melindungi
kepala Rahil dengan tangannya.
“Auw, nek tunggu kakiku kena batu, sakit nek”
teriakan kesakitan sang cucu membuat sang nenek mau tidak mau harus
menghentikkan langkahnya. Dan tersenyum kepada Rahil.
“Baiklah,
biar nenek gendong”
“Tidak.. tidak nek.. aku mau berjalan sendiri
saja” elaknya reflek, karna dia tak mau membuat sang nenek kelelahan dan
menderita. Karna Rahil tau jika sang nenek sudah cukup menderita. Lalu mereka melanjutkan
perjalanannya.
Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga
yang sangat indah, airnya sangat segar, ada
banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang. hingga membuat sang cucu tercengang dan terbelalak matanya.
“Wuaaaah…
tempat apa ini nek? aku suka! aku suka tempat ini!” sang nenek hanya diam dan
kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau dan
tersenyum dengan kebahagian sang cucunya itu.
“Kemarilah le, ayo duduk di samping nenek”
ujar sang nenek, dan membuat sang cucu pun ikut duduk di
samping neneknya. Sang nenek menatap mata Rahil dengan penuh kasih sayang.
“Le,
tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? padahal tempat ini begitu indah bukan?”
“Tidak
tahu nek. memangnya kenapa?”
“Itu
karena orang orang tidak mau menyusuri jalan
yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di
sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu”
Perkataan sang nenek itu membuat Rahil sedikit senang karna
berhasil melewati Jalan tadi.
“Ooh… berarti
kita orang yang sabar ya nek? alhamdulillah”
“Nah,
akhirnya kau mengerti” Senyum
sang nenek terlempar kepada sang cucu. Tapi hal itu membuat bingung sang cucu
yang belum paham apa yang dimaksut sang nenek itu.
”Mengerti apa? aku tidak mengerti”. Dengan
tersenyum sang nenek menjawab pertanyaan dari Rahil.
”Le, butuh kesabaran dalam belajar, butuh
kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran
dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan,
seperti jalan yang tadi. Bukankah
kau harus sabar saat ada batu melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori
tubuhmu, serangga harus menggangu kepalamu,
kau harus sabar melawati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga. Dan akhirnya semuanya terbayar
kan? ada telaga yang sangatt indah”
“Seandainya
kau tidak sabar, apa yang kau dapat? kau tidak akan mendapat apa apa Le, oleh
karena itu bersabarlah” Rahil
mengerutkan dahinya.
”Tapi nek, tidak mudah untuk bersabar ”
“Aku tau,
oleh karena itu ada nenek yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat. Begitu pula hidup, ada nenek yang akan
terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh,
nenek bisa mengangkatmu, tapi ingatlah cucuku. Nenek tidak selamanya
bisa mengangkatmu
saat kau jatuh. Suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu
pada orang lain. Jadilah dirimu sendiri. Seorang pemuda muslim
yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena ia tahu ada Allah di sampingnya. Maka kau akan dapati dirimu tetap
berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain
memutuskan untuk berhenti dan
pulang. Maka kau
tau akhirnya kan?”
Pernyataan Sang nenek kali ini membuat sang
cucu sumringah, dan tersenyum lebar.
”Ya nenek, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah
yang lebih indah dari telaga ini. Sekarang aku mengerti. Terima kasih nenek, aku akan tegar saat yang lain terlempar ”
Sang nenek hanya tersenyum sambil menatap wajah
cucu kesayangannya dan kebanggannya.
Tangan nenek yang tadi menggenggamnya beralih merangkul pundaknnya. Dan mereka menikmati keindahan telaga kembali.
(Selesai)
0 comments:
Post a Comment